Sumber : http://media.kompasiana.com/buku/2012/06/16/sepatu-dahlan-saya-jamin-anda-menyesal-jika-membelinya-464984.html
“ Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya.”
Dahlan Iskan
Membicarakan sosok Dahlan Iskan, maka kita akan teringat aksinya yang cenderung kontroversial, nyeleneh, tidak biasa, bagi dirinya yang notabene adalah seorang menteri BUMN. Adalah membongkar palang jalan tol, naik ojek untuk rapat menteri, kerapkali memakai sepatu kets daripada pantofel mengkilat ataupun menolak kendaraan menteri yang menjadi fasilitas, memang menjadi daya tarik bagi Bapak DIS –panggilan akrabnya- di tengah-tengah pejabat kita yang sepertinya makin maruk dengan harta benda, hingga gaji yang disediakan sudah besar, tetap saja terasa kurang.
Hal-hal unik dari Pak Dahlan inilah, yang mungkin menarik seorang Krisna Pabichara untuk membuat sebuah “karya” khusus yang didekasikan untuk Pak Dahlan. Sangat jarang, saya kira, tokoh Indonesia dibuatkan novel, -tidak termasuk biografi-, Pak Habibie saja hanya punya buku biografi dengan Bu Ainun, hingga pasti “Sepatu Dahlan” adalah sebuah terobosan baru, berlatar belakang kekontroversialan dan begitu famousnya sekarang Pak Dahlan di masyarakat. “Sepatu Dahlan” sendiri adalah rangkaian dari novel trilogi.
“Sepatu Dahlan” diawali dengan prolog bertitelkan 18 jam kematian. Tokoh cerita, Pak Yu Shi Gan, -dilafalkan I se Kan- akan menjalani operasi ganti liver di sebuah rumah sakit di Singapura. Operasi ini bisa saja berhasil, secara otomatis bisa juga gagal, hingga doa-doa kesembuhan pun banyak dilantunkan untuk Pak Yu. Tetapi, ternyata doa dari si empunya sakit tak muluk-muluk, tak memerintah, cukup: Tuhan, terserah Engkau sajalah! Ketika dibius sebagai tahap awal operasi, alur pun berubah, ke masa lalu Pak Yu di Kebon Dalem.
Pak Yu, nama kecilnya Dahlan, hidup di sebuah kampung kecil yang bernama Kebon Dalem. Memiliki seorang Ibu yang rajin mbatik, Bapak yang tegas dan pendiam (ketika membaca novel ini, saya teringat sosok ayah Ikal dalam Laskar Pelangi yang sama-sama pendiam), adik yang bernama Zain, dan dua orang kakak, Mbak Atun yang sudah bekerja dan Mbak Sofwati yang masih kuliah. Keluarga Dahlan bukanlah keluarga kaya, malah cenderung sangat miskin, sehingga Dahlan kecil sangat bercita-cita memiliki sepeda dan sepatu –terutama sepatu-, dua hal yang mustahil rasanya untuk dimiliki.
Konflik dimulai, ketika Dahlan kecil, setamat SR ingin melanjutkan sekolah ke SMP Magetan, sekolah favorit bagi anak-anak Kebon Dalem. Hal ini ditolak Bapak mentah-mentah, yang bersikeras jika Dahlan tetap ingin sekolah, maka pilihan satu-satunya adalah Tsanawiyah Takeran. Bukan tanpa alasan, Pesantren Takeran memang menjadi sejarah untuk Bapak yang diasuh oleh Kyai Mursyid, Ibu yang memiliki banyak sanak famili di Takeran, hingga keduanya pun dijodohkan berkat di Takeran. Kedua kakak Dahlan pun sekolah di sini. Dahlan kecil dilema, antara niat hati ingin ke Magetan, di sisi lain harus taat dengan orangtua. Akhirnya, Dahlan memang tetap ke Takeran, walau sempat ingin mengelabui ayahnya.
Jarak Kebon Dalem-Takeran adalah enam kilometer. Bukan jarak yang pendek apalagi tanpa sepeda dan sepatu. Bisa dibayangkan, kaki Dahlan menjadi langganan lecet-lecet, belum lagi sepulang sekolah tetap harus nyabit, ngangon domba-domba miliknya.
Walau Dahlan sempat tak berniat sekolah di Takeran, hal ini dihapuskan ketika mendengar sambutan Kyai Ilham, Dahlan kecil pun sadar dia harus bersungguh-sungguh sekolah (saya jadi teringat Negeri 5 Menara: Man Jadda Wajada :D). Di Takeran, Dahlan menjadi kapten tim voli, kemudian menjadi pengurus Ikatan Santri, serta mendapat peringkat terbaik semasa nyantri di sini. Dahlan juga punya gank,teman-teman di kala suka duka; Arif, Kadir, Imran, Komariyah dan Mariyati.
Yang asyik di novel ini –entah benar-benar terjadi bagi pak Dahlan Iskan atau tidak-, Dahlan kecil falling in love dengan Aisha, gadis berambut panjang anak Mandor Komar. Saking pemalunya Dahlan, sampai lulus Aliyah pun, tak pernah dia mengutarakan perasaannya.
Setidaknya, ada beberapa hal kecil yang patut kita jadikan teladan dari “Sepatu Dahlan”:
1) Taat kepada orangtua. Ketika Dahlan bimbang ingin sekolah ke Pesantren Takeran, ayahnya bercerita tentang seorang pemuda yang sangat berbakti kepada ibunya yang lumpuh. Pemuda itu menggendong ibunya di pundak dari Yaman ke Mekkah untuk berhaji karena ibunya tidak mau ditinggal. Walaupun sampai lecet-lecet pundak dan kakinya, ternyata amal pemuda itu tetap tak sebanding dengan kasih sayang ibunya. Sosok pemuda ini menjadi contoh bagi Dahlan, untuk meneguhkan hatinya demi pilihan Bapaknya.
2) Berhenti merawat luka. Dalam satu bagian novel, Kyai Ilham menceritakan sejarah tentang Laskar Merah yang menculik Kyai Mursyid. Konon katanya, korban-korban yang diculik Laskar Merah, terlebih dahulu disiksa kemudian ditimbun di sumur tua. Akan tetapi, pasukan Laskar Merah diperlakukan sama kejamnya, disuruh menggali kuburan sendiri, kemudian ditikam dengan bayonet, selanjutnya ditimbun dalam satu lubang. Keluarga Laskar Merah pasti sama bersedihnya dengan keluarga korban yang diculik Laskar Merah. Nasehat berhenti merawat luka berarti jangan saling memelihara dendam yang tak berkesudahan.
3) Jangan pernah mencuri walau tak punya. Ketika Bapak mengantar Ibu ke rumah sakit, Dahlan dan adiknya, Zain kelaparan hingga Zain harus mengikat sarung di perutnya. Dahlan terpaksa mencuri tebu milik Mandor Komar. Apesnya, Dahlan ketahuan dan dihukum mondok. Sore harinya, Bapak dan Ibu belum pulang, Dahlan dan Zain pun kembali lapar. Dahlan berpikir untuk mencuri lagi, tapi niat itu segera dibatalkannya. Ketika pulang, ternyata Komariyah berdiri depan pintu rumahnya dan membawakan nasi tiwul, ikan teri dan sambal terasi. Tuhan memang selalu punya cara untuk membahagiakan hamba-Nya.
4) Percayalah pada kekuatan mimpi. Dahlan kecil sangat ingin punya sepatu dan sepeda. Tapi, karena keterbatasan, Dahlan mengurungkan niatnya. Tetapi, berkat tekad yang kuat, di akhir cerita Dahlan bahkan bisa membeli dua pasang sepatu untuk dirinya dan Zain, hasil keringatnya melatih tim voli anak-anak juragan tebu. Mimpi adalah hal yang mengawali semua keajaiban, selama bermodal perjuangan dan keikhlasan.
Satu hal yang paling mengesalkan dari novel ini, ketika mendekati ending cerita, Aisha mengutarakan perasaannya lewat surat dan Dahlan pun menyambutnya dengan janji bertemu di Stasiun Madiun. Baru janji, dan ketika saya membalik lembar berikutnya, ternyata sudah epilog. Artinya apa? Jika Anda membeli “Sepatu Dahlan”, Anda pasti sangat menyesal. Sebab sudah tidak sabar menunggu kelanjutan Aisha dan Dahlan, apakah mereka akan bersatu atau sebaliknya? Makanya, jika Anda membeli “Sepatu Dahlan”, Anda harus membeli seri ke-2 (Surat Dahlan) dan seri ke-3 (Kursi Dahlan). ^_^
Akhirnya dari saya, it’s a must read!
Selamat Membaca!
Download Atau Baca Online
Download Atau Baca Online
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.